PONDASI KEMANUSIAAN: TOLERANSI BERAGAMA

“Menjadi manusia yang seutuhnya dengan senantiasa mampu memanusiakan manusia”

Nilai-nilai kemanusiaan hadir dengan pondasi agama ataupun kepercayaan yang dilekatkan dalam diri seseorang. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejatinya agama atau kepercayaan manapun tidak ada yang bertentangan dengan kemanusiaan. Kedamaian selalu bertautan dengan kemanusiaan, di mana hakikatnya secara komprehensif tugas pemimpin negeri. Maupun toleransi yang agama atau kepercayan untuk menstransfer sedemikian jelas guna mencita-citakan kedamaian di tengah masyarakat plural.

Bentuk ajaran kemanusiaan yang digaungkan untuk mencapai kesejahteraan rakyat berawal dari sikap direfleksikan terhadap tindakan maupun ucapan. Kebebasan dalam memilih dan menentukan agama atau kepercayaan yang dikehendakinya diberikan secara bebas tanpa ada paksaan. Karena tidak ada satupun agama atau kepercayaan yang menghendaki perpecahan. Pandangan hidup merupakan hak setiap manusia asalkan selama tidak benturan dengan moral dasar manusia dan tidak  mengganggu ketertiban umum.

Pondasi toleransi beragama merupakan hal yang mendasar mengenai toleransi yang mana mencakup masalah-masalah keyakinan dalam diri manusia yang berhubungan dengan akidah yang diyakini. Toleransi beragama adalah bentuk realisasi dari ekspresi pengalaman keagamaan dalam komunitas. Ekspresi keagamaan dalam bentuk komunitas menurut Joachim Wach merupakan tanggapan dari manusia beragama terhadap realitas seccara mutlak yang diwujudkan atau direfleksikan dalam bentuk jalinan sosial antar umat beragama serta penganut keyakinan yang berbeda.

Toleransi dikatakan sebagai bentuk akomodasi dalam interaksi sosial. Manusia secara sosial tidak dapat menafikkan bahwa mereka harus hidup secara berkelompok dan bergaul bukan hanya dengan kelompok masing-masing, namun perlu bersifat heterogen. Umat beragama dan berkeyakinan pastinya berupaya untuk memunculkan toleransi agar tercapainya kestabilan sosial sehingga menghindari terjadinya benturan-benturan ideologi antar sesama.

Toleransi tercipta dengan tujuan agar dapat terbina kehidupan berdampingan yang harmonis dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan untuk tercapainya kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera. Indonesia yang tercipta dengan beragam suku, budaya, agama, kepercayaan dan ras kini sedang terombang-ambing ombak isu kemanusiaan yang ingin saling menjatuhkan pihak lain demi tercapainya kepentingan kelompok golongan tertentu.

Toleransi dapat terwujud di mensyarat dengan adanya sikap menghormati, mengerti dan tidak menyakiti orang ataupun kelompok lain yang sama atau berbeda. Toleransi perlu ditumbuhkan oleh kesadaran akal sehat dan hati nurani sebagai manusia yang terbebas dari segala bentuk ancaman, paksaan, tekanan, atau pengaruh dari luar yang sedang mengalami krisis toleransi.       

Dalam kehidupan berpolitik, terdapat jargon politik modern yaitu hidup eksklusif. Di mana yang dimaksud dengan bersikap hidup eksklusif mengandung makna suatu sikap hidup yang mengabaikan adanya kehidupan yang pluralistik. Hal ini berarti sikap hidup manusia yang dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran, diantaranya membawa bahaya intoleransi semakin menyerbak di negeri yang haus kedamaian ini, bertebarannya kesombongan, penghinaan atau bahasa kerennya hate speech kian hari menjadi asupan di media sosial, perundungan hingga pembungkama menjadi hal yang lumrah terjadi.

Paradigma cara pandang terhadap makna toleransi, kedamaian, kemanusiaan, kesejahteraan perlu ditanamakan dalam akal pikiran dan tubuh para generasi penerus. Generasi yang bisa dikatakan sudah hampir menjemput masa expired dalam hal membangun tatanan kehidupan di negeri tercinta Indonesia ini. Paradigma keberagaman secara inklusif, dimana merujuk pada pandangan luas dengan menerima adanya kehidupan plural yang terbentuk secara alamiah di negeri permai ini. Bersikap inklusif dengan mengikuti jalan sendiri tanpa mengutuk atau mengkritik buruk jalan orang lain, menjadikan tindakan menjadi konkrit hingga mampu berpandangan secara universal.

Bersikap pluralistik di tengah kehidupan yang plural menjadi langkah moderat dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan sandiwara dan permainan oknum-oknum tak bertanggungjawab. Dengan pondasi pandangan pluralistik mampu berdiri tegak di tengah realitas yang memandang semua manusia setara di hadapan manusia lain tanpa adanya intimidasi atau diskriminasi terhadap salah satu kelompok atau pihak tertentu.

Indonesia ialah bangsa yang memiliki karakter unik dengan sejuta keberagaman di dalamnya. Kehidupan dinamika global yang masuk di Indonesia secara bebas mampu mempengaruhi tatanan hingga pola pikir secara langsung terhadap generasi penerus bangsa. Yang katanya indonesia diperkenalkan sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan kemanusiaan. Pada kenyatannya, intoleransi masih saja menggerogoti dengan lahap jiwa-jiwa yang haus akan toleransi. Sehingga mengakibatkan intoleransi menjadi angin segar yang dapat digodok oleh pihak-pihak yang memang menginginkan perpecahn antar umat. Entah motif apa yang tergambarkan, masih bersifat abu-abu hingga saat ini. Serta intoleransi masih menjadi momok mengkhawatirkan dan berbahaya di negri ini apabila tidak ada pondasi dan pemahamaman pola pikir yang kuat ketika menghadapai suatu hal.

Indonesia yang mengedepankan dan mengendapkan pendidikan berkarakter dalam diri setiap anak didiknya, mampu menjadi sebuah harta karun berharga bagi Indonesia. Dalam rangka memperbaiki serta melangkah menuju Indonesia yang lebih baik, tentunya hal pertama yang ditanamkan ialah sikap toleransi yang dibangun mulai dari lingkup terkecil yakni keluarga, hingga upaya penanamaan di lingkup pendidikan. Karena hal tersebutlah yang mampu mempengaruhi pola pikir dan pola hidup bangsa dalam proses pembangunan Indonesia.

Membangun nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan sikap toleransi melalui pendidikan harus terus diupayakan di era krisis toleransi seperti saat ini. Apalagi ketika menengok ke belakang akhir-akhir ini, banyak terjadi intoleransi yang bahkan menjerumus kepada radikalisme dan perpecahan umat. Hal ini muncul akibat berbagai faktor, salah satunya rendahnya tingkat pemahaman kebangsaaan yang sempit. Benih-benih intoleransi yang ditebarkan mampu ditepis dengan pola pendidikan yang mengendepankan pembelajaran tentang kemanusiaan menjadi kunci kesejahteraan hidup berbangsa dan bernegara.

Oleh : Rina Ayu Agustina




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama